Rabu, 16 November 2011

Cara Melacak IP Address

     Cara Melacak IP Address


Kali ini saya akan mengalih perhatian teman-teman dari tutorial blogger, karena sekarang ini sudah banyak orang yang tidak bertanggung jawab melakukan SPAM ato sejenisnya pada website/blog maupun sarana chatting lain-nya.
Sekarang ini Saya akan memberitahu kepada teman-teman bagaimana melacak IP Addres seseorang:
Artikel ini ditulis tentang bagaimana cara melacak IP address suatu situs. Dalam artikel ini OrLaNd akan membahas hal-hal berikut:
1. Melacak alamat IP suatu situs
2. Melacak Real Adress server suatu situs
3. Cara Mengetahui IP address lawan chatting kita

1. Melacak alamat IP suatu situs. 
Untuk mengetahui alamat IP suatu situs, kita dapat melakukan PING terhadap situs tersebut.
Caranya: Masuk ke Command Prompt dan ketikan PING WWW.google.COMlalu tekan enter. Maka akan muncul alamat Ip situs tersebut.

2. Melacak Lokasi server (real address) suatu situs
 Kita dapat melacak lokasi server suatu situs hanya dengan mengetahui alamat situsnya saja. Coba anda buka www.domainwhitepages.com , Tinggal masukkan IP addresssitus tadi atau masukkan alamat situsnya dan anda akan mendapatkan info lengkap tentang server dari situs tersebut diantaranya adalah lokasi negara dan kota.

3. Melacak IP address lawan chatting kita
Saat kita menggunakan Yahoo messenger, sebenarnya kita bisa mengetahui alamat IP dari lawan chatting kita.
Caranya: :: Kirimkan suatu file pada lawan chat kita. :: Lalu masuklah ke Command Prompt (MSDOS) dan ketikkan NETSTAT -N lalu tekan enter, maka alamat IP lawan chatting anda (yang telah anda kirimi file tadi) akan muncul beserta port yang digunakan untuk pengiriman file. ::
Untuk mengetahui lokasi lawan chatting anda (real address) seperti ia berada di kantor / kampus atau di warnet mana, tinggal anda chek diwww.domainwhitepages.com dengan mempergunakan alamat IP yang anda dapatkan.
Terima Kasih atas kunjungan dan kepercayaan anda dalam mempercantik blog anda.
Semoga Bermanfaat buat anda dan selamat hari yang indah


GAMES MENGHILANGKAN STRESS

Bebarapa games kecil yang bisa
menghilangkan sters download aja
dibeberapa situs dibawah ini gw jamin lo semua bakal fun
tapi gw gak jamin
sebab itu semua tergantung Mud lo semua

silahkan buka
  • http://www.ubi.com/us/support/
  • http://www.gamehouse.com/
  • http://www.activision.com/index.html

Minggu, 13 November 2011

CARA MEMBUAT PAYPAL

ya sudah itu saja mudah- mudahan banyak membantucara punya rekening paypal tanpa bayar

pertama2 kalian bikin dl rekening paypal
daftarnya d https://www.paypal.com/id/mrb/pal=6YV3TDNS594GQ
n jgn lupa bahasanya d ubah
supaya kalian mudah membaca caranya

nah!!! d situ ad d suruh pilih :
- pribadi
- primer
- bisnis
cukup pilih PRIBADI aj

lalu klik memulai

setelah itu isi formulirnya

catatan : utk kolom tanggal lahir
format isiannya BULAN/TANGGAL/TAHUN
dan tahunnya harus yg berumur 18 tahun ke atas
berarti isi aj TAHUN 1990

krn sering d situ banyak yg salah

dan bagi yg tdk ad kartu kredit

caranya
d situ ad tulisan
"Hubungkan kartu kredit saya, supaya saya dapat segera mulai berbelanja (dianjurkan)"

yg d centang

kalian cukup menghilangkan centangnya
setelah formulirnya d isi
lalu klik SETUJU DAN BUAT REKENING

setelah itu
maka akan tampak gambar kartu kredit

kalian abaikan saja

kalian klik aj langsung tulisan MASUK KE REKENING SAYA

setelah nampak tabel n saldo paypal anda $0.00 USD

kalian klik LOG OUT

lalu kalian periksa kotak surat email kalian
utk mengkonfirmasikan paypal kalian

supaya nnt bs d LOG IN lagi

setelah msk ke inbox email kalian
d situ ad tulisan HUBUNGKAN KARTU ANDA
lalu klik

nnt ad d minta kode sandi
masukkan aj kode sandi yg kalian bikin td
wkt isi formulir

lalu klik KONFIRMASI

setelah itu
nnt kita d minta msk in dua buah pertanyaan keamanan
pilih aj pertanyaannya
n d jawab
caranya sama kok kayak kita bikin email

kalian pst nya ngerti kan?

setelah d pilih n d isi
lalu klik KIRIMKAN

setelah keluar tampilan baru
kalian langsung klik MASUK KE REKENING SAYA


berhasil dech registrasinya

Kamis, 10 November 2011

Perkembangan Pertanian dari Zaman ke Zaman


Perkembangan Pertanian dari Zaman ke Zaman



Zaman Mesopotamia yang merupakan awal perkembangan kebudayaan, merupakan zaman yang turut menentukan sistem pertanian kuno. Perekonomian kota yang pertama berkembang di sana dilandaskan pada teknologi pertanian yang berkiblat pada kuil-kuil, imam, lumbung, dan jutu tulis-juru tulis.Penciptaan surplus sosial menyebabkan terjadinya lembaga ekonomi berdasar peperangan dan perbudakan.Administrasi untuk surplus yang harus disimpan mendesak kebutuhan sistem akuntansi. Pemecahan masalah ini datang 6.000 tahun yang lalu dengan terciptanya tulisan-tulisan yang merupakan awal kebudayaan. Kebudayaan Mesopotamia bertahan untuk beribu tahun di bawah banyak pemerintahan yang berbeda. Pengaruhnya, walaupun sukar didefinisikan secara tepat, memancar ke Siria dan Mesir dan mungkin juga ke India dan Cina. Tulang punggung pertanian terdiri dari tanaman-tanaman yang sekarang masih penting untuk persediaan pangan dunia: gandum dan barlai, kurma dan ara, zaitum dan anggur. Kebudayaan kuni dari Mesopotamia - Sumeria, Babilonia, Asiria, Cahldea - mengembangkan pertanian yang bertambah kompleks dan terintegrasi. Reruntuhan menunjukkan sisa teras-teras, taman-taman dan kebun-kebun yang beririgasi.
Emapt ribu tahun yang lalu saluran irigasi dari bata dengan sambungan beraspal membantu areal seluas 10.000 mil persegi tetap ditanami untuk memberi pangan 15 juta jiwa. Pada tahun 700 SM sudah dikenal 900 tanaman. Pengetahuan tentang pertanian kuno di mana pun tidak lebih banyak dari pada di Mesir, di mana pasri yang bertiup dari gurun memelihara data dan catatan dari zaman yang menakjubkan. Sepanjang Sungai Nil diciptakan kebun-kebun formal luas, penuh dengan tanaman-tanaman hias eksotik dan kolam kolam berisi ikan dan teratai. Di kebun buah (orchard), kurma, anggur, ara, lemon dan delima diusahakan. Kebun sayur berisi ketimun, articoke, bawang putih, perai, bawang bombay, slada, menta, endewi, cikori, logak, dan berbagai labu. Kebudayaan Mesir bertahan selama 35 abad, dan kemudian pelaut-pelaut phoenicia meneruskan warisan teknologi Mesopotamia dan Mesir ke kepulauan Yunani yang sedang muncul.Sumber: http://id.shvoong.com/exact-sciences/agronomy-agriculture/1698626-perkembangan-pertanian-dari-zaman-ke/#ixzz1dMvstcBa

Sejarah Perkebunan Indonesia

MENELUSURI AKAR KETIMPANGAN DAN KESEMPATAN BARU: CATATAN TENTANG SEJARAH PERKEBUNAN INDONESIA
Oleh : Bambang Purwanto (purwanto349@yahoo.co.uk)
Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor perkebunan, karena sektor ini memiliki arti yang sangat penting dan menentukan dalam pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Perkembangan perkebunan pada satu sisi dianggap sebagai jembatan yang menghubungkan masyarakat Indonesia dengan ekonomi dunia, memberi keuntungan finansial yang besar, serta membuka kesempatan ekonomi baru, namun pada sisi yang lain perkembangan perkebunan juga dianggap sebagai kendala bagi diversifikasi ekonomi masyarakat yang lebih luas, sumber penindasan, serta salah satu faktor penting yang menimbulkan kemiskinan struktural. Bahkan dalam konteks masa lalu ada yang berpendapat bahwa sejarah kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia merupakan sejarah perkebunan itu sendiri. Sejak awal kedatangan bangsa Barat yang mengidentifikasi diri sebagai pedagang sampai masa-masa ketika Barat identik dengan kekuasaan kolonial dan pemilik modal, perkebunan menjadi salah satu fakta atau variabel yang tidak bisa diabaikan untuk merekonstruksi dan menjelaskan realitas masa lalu yang ada.
Tulisan singkat ini akan membahas proses dan struktur perkembangan perkebunan dan komunitasnya sejak pertengahan abad ke-19 sampai paruh pertama abad ke-20, ketika sektor perkebunan mengalami pertumbuhan yang luar biasa dan menimbulkan pengaruh yang sangat besar baik bagi negara kolonial, para pemodal besar maupun masyarakat di Indonesia. Konstruksi ini diharapkan memberi bekal untuk memahami sejauhmanakah realitas kekinian perkebunan Indonesia merupakan lanjutan dari masa lalunya, atau telah terjadi perubahan yang mendasar sehingga tidak relevan mencari akar permasalahan perkebunan di Indonesia pada masa kini pada realitas historis perkebunan di masa kolonial.
Awal Perkembangan
Jauh sebelum perkebunan milik para pemodal swasta Barat berkembang pesat di abad ke-19, usaha perkebunan untuk ekspor sebenarnya telah memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Perubahan pola perdagangan pasar dunia pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 yang disertai dengan pelayaran orang Barat langsung ke pusat-pusat produksi dan perdagangan di Asia Tenggara menimbulkan peningkatan permintaan terhadap beberapa jenis komoditi yang dihasilkan kepulauan Indonesia. Beberapa komoditi seperti lada, pala, cengkeh, dan kayu manis yang sebelumnya hanya dikumpulkan dari tanaman liar mulai dibudidayakan penduduk di berbagai daerah di Indonesia. Para penguasa di kerajaan Aceh dan Banten misalnya, telah melakukan langkah yang sistematis melalui jalur birokrasinya dalam mengusahakan perkebunan lada pada akhir abad ke-16. Di Banten, pembukaan perkebunan itu tidak hanya terbatas di tanah-tanah yang tersedia di ujung barat pulau Jawa melainkan juga merambat ke daerah kekuasaannya di Lampung, sehingga terjadi mobilitas penduduk secara rutin menyeberangi Selat Sunda.
Satu hal yang perlu dicatat dari beberapa studi yang telah dilakukan, negara sejak awal telah menjadi penguasa utama yang memonopoli usaha perkebunan, baik sebagai pemilik maupun sebagai pedagang hasil perkebunan. Proses produksi dan pemasaran ditentukan oleh negara, keluarga kerajaan, dan para birokratnya melalui jaringan birokrasi dan institusi tradisional, sementara itu rakyat hanya berfungsi sebagai penyedia tenaga kerja dan tidak memiliki kekuatan tawar menawar untuk menentukan besar kecilnya nilai dan hasil produksi. Penguasa dan birokrasinya bahkan menentukan distribusi kebutuhan sehari-hari produsen, yang merupakan kompensasi atas keterlibatan mereka dalam proses produksi. Hal itu menunjukkan bahwa pasar bukan merupakan komponen ekonomi yang penting, baik untuk memasarkan produksi maupun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena birokrasi menentukan segala hal.
Di dalam usaha itu, para penguasa cenderung bekerja sama dengan orang asing daripada dengan interprenur lokal. Hal itu dilakukan untuk menangkal munculnya kelompok lokal yang mampu menyaingi kekuasaan raja karena keberhasilannya dalam bidang ekonomi. Salah satu contoh adalah kasus yang terjadi di Aceh pada akhir abad ke-16, ketika Sultan Ala’ad-din Ri’ayat Syah al-Mukammil memerintahkan pembunuhan dan perampasan harta benda para orang kaya, karena kelompok itu sangat berpengaruh dalam silih bergantinya lima orang sultan di kerajaan Aceh antara tahun 1571 dan 1589. Sejak saat itu produksi dan perdagangan lada secara eksklusif semakin didominasi oleh penguasa politik, terutama para uleebalang yang merupakan penguasa otonom atas wilayah tertentu. Sejak awal abad ke-16, perkebunan lada yang dikuasai kerajaan Aceh telah mencakup wilayah yang sekarang berada di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Bengkulu.
Kehadiran perusahaan dagang Barat, terutama Inggris dan Belanda pada abad XVII memperluas usaha perkebunan yang dilakukan oleh penduduk di beberapa wilayah di kepulauan Indonesia, baik sebagai bagian dari aktivitas ekonomi penguasa politik lokal maupun sebagai bagian dari politik penyerahan wajib yang berhasil ditanamkan oleh perusahaan dagang Barat, seperti yang terjadi di Ternate, Tidore, dan Ambon. Segera setelah Inggris menguasai Bengkulu, pesaing utama Belanda itu memulai usaha perkebunan, terutama lada di wilayah pantai Barat Sumatera. Sementara itu di Palembang, Jambi, dan Siak yang tidak berada di bawah kekuasaan baik Aceh, Banten maupun perusahaan dagang Barat juga berhasil mengembangkan perkebunan lada pada saat yang bersamaan.
Di Jawa, orang-orang Cina menyewa tanah-tanah desa untuk membuka perkebunan, terutama perkebunan tebu. Pada abad ke-17 perkebunan dan pabrik gula sederhana milik orang Cina sudah ditemukan di sekitar Batavia. Usaha perkebunan milik orang Cina ini juga dapat ditemukan di wilayah yang masih dikuasai oleh Mataram. Usaha perkebunan, terutama milik orang asing ini semakin berkembang ketika kekuasaan Barat atas kerajaan-kerajaan lokal semakin luas dan dalam. Di tanah-tanah partikelir, tanah yang dikuasai VOC yang dijual kepada pribadi-pribadi kaya di Jawa terutama sejak tahun 1778, perbukaan perkebunan-perkebunan baru yang ditanami berbagai jenis tanaman ekspor memperluas aktivitas usaha perkebunan di Jawa. Perkembangan usaha perkebunan mencapai salah satu puncaknya ketika VOC yang hampir bangkrut menerapkan kebijakan penanaman dan penyerahan wajib kopi di Priangan, yang dikenal sebagai Preanger Stelsel menjelang berakhirnya abad ke-18. Penanaman kopi di Priangan ini kemudian menjadi model dari tumbuhnya usaha perkebunan yang diselenggarakan oleh negara pada abad berikutnya, yang dikenal sebagai Kultuurstelsel atau biasa diterjemahkan sebagai Sistem Tanam Paksa dalam historiografi Indonesia.
Modal Swasta dan Berkembangnya Perkebunan Besar
Memasuki abad ke-19, sebuah perubahan besar mulai terjadi dalam usaha perkebunan di Indonesia. Berbeda dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang bersifat terbatas, pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC berusaha memaksimalkan potensi lahan-lahan yang subur, lahan-lahan yang belum diolah, dan tenaga kerja penduduk lokal untuk menghasilkan berbagai jenis komoditi ekspor, terutama kopi, tembakau, nila, dan gula. Di Jawa, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan Kultuurstelsel dalam rangka memanfaatkan secara paksa tanah-tanah desa baik yang belum maupun yang telah diolah oleh masyarakat di daerah Gubernemen sejak tahun 1830. Penduduk diharuskan menyerahkan tanah dan tenaga kerja mereka dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan berbagai komoditi ekspor seperti yang telah disebutkan di atas untuk kepentingan negara kolonial.
Kebijakan yang sama tidak hanya terbatas dilakukan di Jawa. Seiring dengan ekspansi militer dan perluasan kekuasaan politik kolonial, kebijakan pembukaan perkebunan baru secara paksa ini juga dilakukan di pulau-pulau lainnya, seperti tanam paksa kopi yang dilakukan di Sumatera Barat setelah berakhirnya Perang Paderi. Penduduk Sumatera Barat yang telah mengembangkan perkebunan kopi bebas sejak abad ke-18 dipaksa harus menyesuaikan proses produksinya dengan kebijakan tanam paksa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1840-an. Sebelum itu usaha pembukaan perkebunan besar dengan tenaga kerja paksa telah gagal, sehingga pemerintah menyerahkan kembali proses produksi dalam bentuk perkebunan-perkebunan kopi yang dikelola oleh keluarga namun nilai produksi ditentukan oleh pemerintah. Pembukaan perkebunan-perkebunan kopi, lada, cengkeh, dan kelapa dengan cara yang hampir sama juga dilakukan di Palembang, Lampung, Bengkulu, dan Minahasa pada waktu yang hampir bersamaan.
Seperti telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan lokal sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan dengan baik jalur birokrasi. Di samping birokrasi colonial, pemerintah colonial juga memanfaatkan birokrasi tradisional untuk menjalakan usaha perkebunan yang dikuasai oleh negara itu. Sistem Tanam Paksa di Jawa yang berbasis pada desa telah melibatkan pada pejabat lokal dari tingkat bawah sampai bupati bersama-sama controleur sampai residen untuk melakukan kontrol terhadap seluruh aktivitas yang berlangsung. Di Sumatera Barat para tuanku laras, sebagian penghulu, dan kepala menjadi bagian penting dari keberhasilan program itu. Di samping para birokrat kolonial, para elite lokal itu menikmati keuntungan ganda berupa manipulasi terhadap produsen dan imbalan yang diterima dari penguasa kolonial. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika para elite lokal ini berhasil membangun relasi politis dan ekonomi yang erat dengan kekuasaan kolonial, yang pada titik tertentu menimbulkan konflik dalam hubungan mereka dengan rakyatnya sendiri. Sementara itu bagi para elite yang berusaha bersikap netral seperti yang ditunjukkan oleh banyak penghulu di Sumatera Barat, kondisi ini telah menimbulkan kesulitan bagi para penghulu yang berusaha melindungi rakyatnya dengan kuatnya tekanan kolonial serta adanya kenyataan bahwa para penghulu ini juga menikmati keuntungan ekonomis dari pelaksanaan sistem tanam paksa kopi itu. Pada saat bersamaan ketika berlaku Sistem Tanam Paksa di tanah-tanah Gubernemen Jawa, sebuah perkembangan perkebunan baru yang melibatkan para pemodal swasta Barat mulai terjadi di Vorstenlanden atau Tanah Kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta. Berbeda dengan pemahaman selama ini bahwa perkembangan perkebunan besar milik pemodal swasta Barat baru berlangsung setelah berlakunya Undang Undang Agraria 1870, penelitian yang dilakukan Vincent Houben menunjukkan bahwa para pemodal swasta Barat telah menyewa tanah-tanah lungguh milik raja dan para pangeran untuk membuka perkebunan nila, tembakau, kopi, dan tebu. Sebagai contoh, dari 51.000 ton kopi yang dihasilkan Jawa pada tahun 1845, 4.413 atau 8,6% berasal dari Vorstenlanden, yang semuanya dihasilkan oleh kebun-kebun milik pemodal swasta Barat. Bahkan ada bukti yang menyebutkan bahwa perkembangan perkebunan besar milik pengusaha swasta di Jawa sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1816, jauh sebelum diberlakukannya undang-undang agraria. Biarpun ada larangan terhadap penyewaan tanah lungguh oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1823, sejak tahun 1827 penyewaan itu berlangsung kembali.
Bukti-bukti lain menunjukkan bahwa perkebunan-perkebunan besar milik swasta juga telah berkembang sejak Daendels dan Raffles menjual tanah-tanah di Bogor, Kerawang, dan Priangan, terutama kepada pengusah-pengusaha swasta Barat dan Cina. Penjualan perkebunan Cikandi Ilir dan Cikandi Udik antara tahun 1823 dan 1833 menjadi contoh lain dari keterlibatan pengusaha swasta asing dalam perkembangan perkebunan besar di Jawa sebelum tahun 1870. Bahkan pada saat Sistem Tanam Paksa berlangsung, paling tidak 36.398 bau tanah Gubernemen di Pekalongan, Surabaya, Pasuruan, dan Banyumas telah berubah menjadi perkebunan besar, masing-masing mengusahakan lebih dari 1.000 bau milik pengusaha swasta. Pada tahun 1826, NHM yang sangat berperan dalam penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa telah mendorong berkembangnya perkebunan besar milik swasta melalui sistem kontrak konsinyasi dengan pemerintah. Perkembangan perkebunan milik pengusaha swasta di Jawa semakin berkembang ketika pemerintah mengizinkan pembangunan pabrik gula milik swasta di samping pabrik gula yang diusahakan oleh negara setelah tahun 1850. Namun satu hal yang perlu dicatat berkaitan dengan perkembangan perkebunan swasta itu, banyak dari perusahaan perkebunan itu dimiliki oleh keluarga para pejabat pemerintah Belanda dan Hindia Belanda. Hal itu dapat dilihat pada kasus perkebunan dan Pabrik Gula Purwodadi di Madiun yang dimiliki oleh Baron A. Sloet van Oldruitenborgh yang merupakan menantu dari P.J.B. Perez seorang anggota Konsil Hindia Belanda. Kepentingan keluarga dan pribadi ini sering menimbulkan konflik dengan para birokrat lokal yang berusaha membela kepentingan pemerintah. Para pengelola perkebunan di Tegal misalnya mengeluh karena para pejabat lokal telah menghalangi perkebunan dalam pengadaan tenaga kerja, sehingga ia dipindahkan ke tempat yang lain. Di Rembang seorang residen berani mencabut izin usaha beberapa perkebunan tembakau swasta yang dianggapnya telah melanggar tanpa akibat apapun, namun penggantinya melakukan hal yang sama terpaksa harus menghadapi pemecatan yang telah direkayasa dari atas. Perubahan kebijakan ekonomi pemerintah seiring dengan semakin kuatnya kepentingan ekonomi para pemilik modal Barat dan adanya perhatian yang lebih besar terhadap pulau-pulau lain setelah tahun 1870 merupakan salah satu tonggak penting dalam pertumbuhan yang semakin cepat usaha perkebunan di Indonesia. Perkebunan gula dan tembakau, terutama milik swasta berkembang sangat luar biasa di Pulau Jawa sampai tahun 1930-an. Menurut data yang dipublikasi dalam Kolonial Verslag, luas areal perkebunan gula yang diusahakan pemerintah menurun dari 28.167 hektar pada tahun 1870 menjadi 3.875 hektar pada tahun 1890.
Sementara itu lahan yang dikelola perkebunan gula swasta meningkat dari 332 hektar pada tahun 1875 menjadi 25.075 hektar pada tahun 1890. Jumlah perkebunan gula swasta juga meningkat dari 46 pada tahun 1875 menjadi 158, yang 24 diantaranya dimiliki oleh orang Cina pada tahun 1895. Kedudukan pemodal swasta dalam perkembangan usaha perkebunan di Indonesia pada masa kolonial menjadi semakin besar sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika beberapa komoditi baru seperti karet dan teh mulai dikembangkan dan pembukaan perkebunan besar di Sumatera dan Kalimantan. Pembukaan perkebunan tembakau milik swasta di Jawa Timur dan Sumatera Timur pada akhir abad ke-19 menandai sebuah era baru dalam usaha perkebunan, tidak hanya bagi daerah sekitarnya melainkan juga di seluruh wilayah kekuasaan Hindia Belanda selanjutnya. Pengerahan tenaga kerja dari luar daerah, khususnya tenaga kerja kontrak bagi orang Madura di Jawa Timur dan orang Jawa, Cina, dan India di Sumatera Timur pada satu sisi masih meneruskan beberapa ciri tradisi perkebunan yang lama, namun pada sisi yang lain telah menciptakan komunitas perkebunan baru yang unik dan berbeda dengan yang pernah ada sebelumnya.
Dua Lingkungan Perkebunan
Diilhami oleh tipologi yang dikemukakan oleh Clifford Geertz yang membedakan ekologi “sawah-tegalan” dan “dalam Jawa-luar Jawa”, lingkungan sosial-ekonomis dari perkebunan di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan proses perkembangan historisnya. Pembedaan ini tentu saja tidak terlalu kaku, karena beberapa ciri yang sama juga terdapat pada tempat yang berbeda. Lingkungan pertama sebagian besar terdapat di Jawa, wilayah yang penduduknya mengalami proses marginalisasi akibat sistem produksinya mengambil alih secara langsung modal produksi yaitu tanah milik desa atau pribadi dan tenaga kerja yang seharusnya digunakan oleh produsen untuk berproduksi bagi kepentingan ekonomi rumah tangga sehari-hari. Proses produksi nila, tembakau, dan tebu menggunakan tanah yang sama digunakan penduduk untuk menanam bahan makanan, khususnya padi. Sementara itu, biarpun sebagian lahan perkebunan kopi dan teh menggunakan lahan di dataran tinggi yang belum diolah, namun di banyak tempat kebun-kebun kopi dan teh milik perusahan besar swasta menggunakan tegalan penduduk dan membatasi upaya penduduk untuk membuka tegalan baru seiring dengan pertambahan penduduk dari waktu ke waktu.
Di dalam lingkungan yang pertama ini, keterlibatan langsung masyarakat lokal di dalam usaha perkebunan menjadi sangat intensif. Hampir sebagian besar tenaga kerja dipenuhi oleh penduduk setempat, kecuali di daerah tertentu yang jarang penduduknya atau dalam musim tertentu ketika tenaga kerja bebas dari luar juga banyak digunakan. Tenaga kerja tidak hanya terbatas pada laki-laki dan orang dewasa, dalam kenyataannya proses produksi juga melibatkan banyak tenaga kerja perempuan dan anak-anak. Tekanan terhadap ekonomi desa menjadi sangat besar, sehingga proses involusi seperti yang digambarkan Clifford Geertz terjadi di beberapa tempat. Bahkan kajian yang dilakukan oleh Peter Boomgard menyatrakan bahwa keterlibatan perempuan di luar sektor domestik terus meningkat seiring dengan perkembangan perkebunan.
Pada saat yang sama, penduduk juga mampu memanfaatkan keberadaan teknologi baru dan kesempatan ekonomi yang dimunculkan oleh perkembangan perkebunan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Robert Elson di Pasuruan menunjukkan bahwa disamping adanya proses involusi dan pemerataan kemiskinan pada komunitas tertentu, penduduk di beberapa wilayah bahkan mampu memanfaatkan secara maksimal irigasi yang dibangun bagi perkebunan tebu untuk meningkatkan produksi padi mereka, sehingga daerah seperti Lumajang menjadi salah satu penghasil padi utama di Jawa Timur. Di tempat lain, penduduk merespon secara positif kesempatan ekonomi baru yang berkaitan dengan perkembangan perkebunan, seperti membuka pasar dan membuat berbagai barang sebagai industri rumah tangga, baik barang yang dibutuhkan oleh perkebunan maupun oleh para pekerjanya. Sebelum lori dan kereta api menjadi alat transportasi utama, penduduk di sekitar perkebunan juga memanfaatkan ternak mereka untuk memenuhi jasa angkutan yang diperlukan oleh perkebunan.
Lingkungan kedua lebih banyak terdapat di perkebunan-perkebunan di Sumatera dan Kalimantan. Di tempat ini terdapat pemisahan yang tegas antara perkebunan sebagai pusat produksi komoditi untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia dengan lahan penduduk untuk menanam kebutuhan pangannya. Biarpun secara agronomis lahan yang digunakan untuk membuka ladang atau huma penduduk sama dengan lahan yang dimanfaatkan untuk perkebunan, sampai beberapa dekade awal abad ke-20 belum terjadi persaingan antara kebutuhan lahan perkebunan dengan kebutuhan penduduk menanam padi. Berbeda dengan lingkungan yang pertama, sebagian besar perkebunan di lingkungan kedua dikembangkan di daerah baru yang belum menjadi bagian dari sistem produksi masyarakat. Baru pada masa kemudian ketika terjadi pertumbuhan penduduk yang sangat besar, persoalan lahan ini muncul. Kebun-kebun tembakau, kopi, dan kemudian karet serta kelapa sawit sebagian besar dibuka pada hutan-hutan tropis yang belum dihuni oleh penduduk. Sebagian besar tanah itu merupakan tanah adat, yang diubah statusnya oleh pemerintah kolonial melalui berbagai peraturan menjadi tanah milik penguasa lokal atau tanah tidak terpakai sebelum dilimpahkan kepada perusahaan perkebunan yang mendapat hak konsesi.
Kondisi ini menempatkan posisi politis para elite lokal menjadi seolah-olah lebih penting, dan di beberapa daerah para elite itu bahkan mengalami peningkatan status dari sekedar “kepala mukim”, “kepala kampung”, atau kepala wilayah menjadi raja atau sultan, yang menurut konsep state domain berkuasa atas tanah yang ada. Keadaan itu juga menimbulkan distorsi dalam konteks politik, ketika satuan unit kekuasaan dari para kepala mukim, kepala kampung, atau kepada wilayah yang mengalami mobilitas sosial semu itu tiba-tiba dipahami sebagai kerajaan dalam pengertian negara. Padahal secara teoretik konseptual, kedudukan para elite itu paling tinggi hanya dapat disetarakan dengan bupati. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tradisi historiografi Indonesia sampai saat ini tidak bisa membedakan dengan jelas antara konsep chiefdom dengan kingdom dalam membahas para elite itu.
Berbeda dengan kenyataan para elite di Jawa yang memiliki kemampuan mengerahkan tenaga kerja melalui jaringan tradisionalnya untuk memenuhi kepentingan perkebunan, para elite di lingkungan kedua itu ternyata tidak memiliki kekuasaan untuk mengerahkan tenaga kerja penduduk yang ada di bawah kekuasaannya. Hal itu tentu saja memperkuat pendapat bahwa sesungguhnya para elite itu tidak lebih dari elite semu, yang menempati posisi tersebut karena kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang ingin melegalisir pemindahan hak atas tanah adat kepada perusahaan perkebunan melalui prinsip state domain. Kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja dari luar, sementara jarang sekali penduduk penduduk di sekitarnya yang bekerja sebagai buruh. Pengerahan tenaga kerja luar ini dapat dijelaskan karena rendahnya tingkat populasi di sekitar lokasi perkebunan baru itu dan penduduk setempat sudah memiliki kesempatan ekonomi alternatif.
Di Sumatera Timur misalnya, kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja kontrak yang berasal dari Cina, yang pada awal abad ke-20 mencapai 2/3 dari seluruh pekerja yang ada. Pada akhir dekade pertama abad ke-20, jumlah pekerja kontrak yang berasal dari Jawa terus meningkat sehingga jumlah pekerja Cina di Sumatera Timur menurun lebih dari separuh. Peningkatan jumlah kuli kontrak dari Jawa itu juga mulai merubah komposisi buruh yang bekerja di perkebunan menurut jenis kelamin dan komposisi umur, yang menunjukkan semakin banyaknya pekerja wanita dan kemudian anak-anak. Selain melalui sistem kontrak, kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan di beberapa tempat seperti Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Lampung dipenuhi melalui program kolonisasi. Berbeda dengan prinsip dasarnya yang direncanakan untuk pengembangan pertanian pangan, sebagian besar dari orang yang dipindahkan dari daerah miskin dan bencana di Jawa itu ternyata lebih banyak yang dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan, di samping untuk proyek-proyek pembangunan lainnya yang dilakukan pemerintah.
Kebutuhan tenaga kerja dari luar yang besar itu kemudian menarik para pendatang dari berbagai wilayah ke sekitar perkebunan, baik sebagai pekerja maupun bukan. Hal ini berbeda dengan lingkungan pertama yang sudah dihuni oleh penduduk ketika perkebunan dibuka, kehadiran pendatang sangat terbatas. Jika pun ada, kedatangan pendatang itu hanya bersifat musiman, dan hanya sedikit yang memutuskan untuk menetap. Namun di lingkungan tipe kedua, daerah sekitar perkebunan dipenuhi oleh para pendatang yang menetap. Seperti yang terjadi di banyak tempat di Sumatera Timur dan Lampung, penduduk pendatang yang berasal dari luar lingkungan adat setempat menjadi lebih dominan. Pada awalnya mereka membuka lahan-lahan yang ada di luar tanah konsesi perkebunan baik untuk pemukiman maupun lahan produksi. Dalam perkembangan waktu, para pendatang ini mulai mengolah lahan-lahan yang telah ditetapkan sebagai tanah konsesi perkebunan, termasuk di lahan-lahan produksi. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menimbulkan persoalan yang kompleks dalam masalah pertanahan antara perkebunan dengan masyarakat.
Di dalam konteks yang lain, dua lingkungan perkebunan ini dapat dilihat dari kualitas ekonomi komunitas perkebunan. Eksploitasi, diskriminasi, kemiskinan, dan penderitaan merupakan cerita utama yang ada di sekeliling masyarakat perkebunan di Indonesia pada masa kolonial sampai saat ini. M. Said, Jan Breman, dan A.L. Stoler misalnya menggambarkan begitu rupa tentang kehidupan masyarakat perkebunan, khususnya di Sumatera Timur yang harus menanggung beban yang sangat luar biasa. Kondisi yang sama juga masih dihadapi oleh para buruh di perkebunan-perkebunan tembakau di Besuki sampai saat ini. Para pekerja perempuan dan anak-anak khususnya harus menghadapi diskriminasi sosial, ekonomi dan bahkan kekerasan seksual secara terus menerus diwarisi dari satu generasi ke generasi-generasi berikutnya.
Sebuah kajian yang paling akhir tentang perkebunan pada masa kolonial menunjukkan telah terjadi peningkatan kualitas non fisik seperti kesehatan dan perlakukan kasar para mandor dan tuan kebun yang semakin berkurang, namun pendapatan riil para pekerja di Sumatera Timur tidak mengalami perubahan yang berarti sejak awal pembukaan perkebunan sampai tahun 1920. Sampai tahun 1910 sebagai contoh, setiap pekerja laki-laki Jawa menerima 30 sen per hari, dan jumlah ini meningkat 60% pada tahun 1920. Kenaikan ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kenaikan biaya hidup, khususnya kenaikan harga beras yang juga mencapai 60%. Selain itu biarpun angka kematian pekerja turun pada tahun 1910-an dibandingkan dengan kondisi di tahun-tahun awal pembukaan, dalam kenyataannya fluktuasi angka kematian ini tetap menunjukkan kecenderungan yang tinggi mencapai 20 per 2.000 orang, seperti yang terjadi sepanjang dekade kedua abad ke-20. Gambaran yang serupa juga terdapat di berbagai perkebunan besar lain milik pemodal swasta di Palembang, Kalimantan Selatan, Jambi, Lampung, dan Bengkulu.
Gambaran yang agak berbeda tentang perkebunan akan didapat jika komunitas perkebunan dilihat sebagai sebuah totalitas. Perkebunan tidak hanya berisi para pekerja yang menderita melainkan juga pekerja yang menikmati keuntungan finansial yang sangat besar dari hasil perkebunan itu. Ketika banyak pekerja yang diberhentikan, perusahaan merugi, dan para pemegang saham tidak menerima deviden pada masa depresi ekonomi tahun 1930-an, sebagian pekerja perkebunan yang berada pada tingkat tertentu masih menikmati tantiem dalam jumlah yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata penghasilan penduduk dan pegawai pemerintah atau swasta umumnya. Ironisnya, warisan kolonial ini ternyata tidak hilang ketika Indonesia mencapai kemerdekaan, dan perkebunan tidak lagi dikelola oleh orang asing.
Pada masa pascasaproklamasi kemerdekaan, berbagai fasilitas dan sistem yang menguntungkan para elite perkebunan terus dipertahankan. Dalam konteks ini, kemerdekaan dan berakhirnya kolonialisme dapat dikatakan tidak mempengaruhi keberlanjutan eksploitasi dan ketimpangan yang telah menjadi ciri komunitas perkebunan pada masa-masa sebelumnya. Bagi sebagian besar komunitas perkebunan, kemerdekaan hanya sebuah jargon politik yang tidak pernah menjadi bagian dari realitas kehidupan mereka sehari-hari. Seperti pada masa-masa sebelumnya, akses mereka terhadap tanah juga terbatas, kalau tidak mau disebut tertutup. Oleh karena itu tidak mengherankan jika konflik pertanahan tetap merupakan sesuatu yang laten dalam komunitas perkebunan pascaproklamasi kemerdekaan, dan bahkan dalam beberapa hal menjadi lebih buruk. Sistem jaluran yang dipraktekkan di perkebunan Sumatera Timur pada masa kolonial yang memungkinkan adanya akses terbatas terhadap tanah bagi para buruh sebagai contoh, ternyata tidak berlanjut dengan reformasi agraria yang memberi pengakuan hak atas tanah kepada para penggarapnya ketika Indonesia menjadi sebuah negara merdeka. Bahkan beberapa bukti menunjukkan akses para buruh terhadap tanah menjadi semakin terbatas, dan bahkan hilang sama sekali ketika terjadi Indonesianisasi terhadap perkebunan. Di tempat lain, lahan masyarakat yang telah mengambil alih pengelolaan lahan perkebunan pada masa Jepang dan awal kemerdekaan, terpaksa harus kecewa atau berada pada ketidakpastian secara terus menerus ketika harus berhadapan dengan pengelola baru yang dianggap resmi oleh pemerintah setelah kebijakan nasionalisasi atau Indonesianisasi tahun 1950-an.
Hal itu menunjukkan dua lingkungan di atas tidak hanya telah membentuk sebuah struktur melainkan juga sebuah kultur komunitas perkebunan pada masa yang secara politik berbeda itu. Hampir sama dengan cerita tentang masyarakat miskin perkotaan di Amerika Latin yang telah terjerat oleh culture of poverty seperti yang dikemukakan oleh Oscar Lewis, secara historis komunitas perkebunan di Indonesia juga telah menciptakan struktur sekaligus kultur perkebunan yang sangat sulit untuk diubah. Baik para pekerja kuli maupun pekerja mandor dan pekerja menejer telah terjerat dalam sebuah lingkaran setan atau tejebak di dalam kotak Pandora, yang mereka sendiri tidak tahu atau pura-pura tidak tahu pangkal dan ujung serta cara mencari jalan keluarnya. Jikalau terjadi perubahan, maka perubahan itu tidak terjadi secara struktural melainkan hanya parsial dan tidak berkelanjutan. Mereka yang tertindas saat ini harus menghadapi kenyataan historis bahwa nenek buyut mereka dulu juga tertindas biarpun para penindas saat kemudian ternyata bukan keturunan para penindas dahulu.
Perkebunan sebagai sebuah komunitas tetap hidup dalam realitas yang sama ketika komunitas lain telah berhasil memutuskan identitas mereka dari masa lalu yang tidak menyenangkan itu. Persoalannya tidak lagi dapat dijelaskan dalam konteks ekploitasi kapitalis terhadap proletar melainkan produk dari upaya untuk membangun hegemoni kultural dan memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomis yang tidak mengenal batas kelas, aliran atau konsep-konsep lain yang setara. Interelasi yang melibatkan banyak variabel telah menghasilkan orang tertindas dan penindas yang hampir-hampir permanen tanpa memerlukan terus hadirnya colonized dan colonizer.
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana cara memutuskan diri dari belenggu masa lalu itu? Tentu saja tidak ada resep instan yang dapat digunakan. Salah satu cara adalah memahami secara benar perkembangan historis masyarakat perkebunan dari masa lalu hingga saat ini sebagai sebuah keberlanjutan struktural maupun kultural. Jika pemahaman itu tidak dilakukan, akan sangat sulit bagi komunitas perkebunan untuk keluar dari warisan sejarah yang hanya menyenangkan segelintir anggotanya saja dan menyengsarakan sebagian besar yang lain.
Penutup
Sebelum tulisan ini diakhiri, satu hal yang perlu diperhatikan bahwa pembicaraan tentang perkebunan jarang sekali memperhatikan masalah perkebunan atau lebih tepat kebun rakyat. Berdasarkan penelitian terhadap sejarah ekonomi perkebunan rakyat di Jawa maupun di pulau-pulau lainnya pada masa kolonial, terdapat sebuah alur perkembangan yang berbeda dibandingkan dengan sejarah perkebunan besar. Jika selama ini dikatakan bahwa para pekebun kecil itu tidak rasional dalam mengusahakan perkebunannya dan perkebunan kecil juga tidak mampu bersaing dengan perkebunan besar, sejarah perkebunan karet rakyat di Kalimantan, Palembang, Jambi, Sumatera Timur, dan Kalimantan Selatan misalnya memberi gambaran yang bertolak belakang. Para pekebun kecil itu ternyata mampu menimbulkan frustrasi berkepanjangan pada para pemilik perkebunan besar.
Dalam banyak kenyataan memang kebun yang memiliki struktur dan sistem yang berbeda itu tidak mampu mendukung perubahan ekonomi secara structural. Namun satu hal yang sering dilupakan bahwa hal itu bukan karena kebun tidak kompetitif secara ekonomis, dan komunitas kebun tidak mampu menghasilkan keputusan-keputusan ekonomi yang rasional. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan terbukti bahwa kebun merupakan korban dari perkebunan ketika para pemilik modal, penguasa dan kelompok-kelompok kepentingan luar lainnya ikut campur dalam proses produksi dan pasar. Kebun secara sistematis mengalami marginalisasi untuk membuka kesempatan kepada para pemilik modal besar atau untuk membangun citra politik penguasa. Padahal seperti juga pekarangan, kebun memiliki potensi ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat. Sayangnya, historiografi Indonesia tidak memberi tempat yang layak kepada historisitas kebun dan pekarangan berserta komunitasnya yang sebenarnya mampu menghadirkan rakyat sebagai “pahlawan”, namun sebaliknya memberikan ruang yang sangat besar kepada perkebunan yang hanya menggambarkan rakyat sebagai korban dan “pecundang” dan secara langsung sekali lagi melegitimasi peran penting orang asing dalam sejarah Indonesia di masa kolonial seperti yang menjadi ciri utama kolonialsentrisme. [db]
Dafar Pustaka
Bambang Purwanto, “The Economy of Indonesian Smallholder Rubber, 1890s-1940”, J.Th. Lindblad, ed., Historical Foundation of a National Economy in Indonesia, 1890s-1990. (Amsterdam: KNAW, 1996).
Booth, Anne, Agricultural Development in Indonesia. Sydney: Allen & Unwin, 1988.
Booth, Anne et al., ed., Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988.
Breman, Jan, Taming the Coolie Beast. New Delhi: Oxford University Press, 1989.
Elson, R.E., Javanese Peasant and the Colonial Sugar Industry. Impact and Change in an Easr Java Residency, 1830-1940. Singapore: Oxford University Press, 1984.
Houben, Vincent J.H., “Private Estates in Java in the Nineteenth Century. A Reaprisal”, J.Th. Lindblad, ed., New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia. Leiden: Programme of Indonesian Studies, 1993.
Houben, V.J.H., Thomas Lindblad, et al., Coolie Labour in Colonial Indonesia. A Study of Labour Relations in the Outer Islands, c. 1900-1940. Wiesbaden: Harrassowitz Verlag, 1999.
Mubyarto et al., Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan. Yogyakarta: Aditya Media, 1992.
Pelzer, Karl J., Toean Keboen dan Petani. Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863-1947. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
---, Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Sinar Harapan, 1991.
Sartono Kartodirdjo & Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, 1991.
Soegijanto Padmo, Tobacco Plantations and Their Impact on Peasant Society and Economy in Surakarta Residency:1860-1980s. Yogyakarta: Aditya Media, 1999.
Van der Eng, Pierre, Agricultural Growth in Indonesia Since 1880. Groningen: Universiteitsdrukkerij Rijkuniversitiet Groningen, 1993.

Draft UU Ormas Terbaru, Samakah LSM dengan Ormas


Draft UU Ormas Terbaru, Samakah LSM dengan Ormas?




Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) hasil kerja Panja Rancangan Undang-Undang tentang Ormas telah diterima Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan memutuskan RUU ini menjadi usul inisiatif Badan Legislasi pada tanggal 19 Juli 2011 kemarin. Tidak tanggung-tanggung, draft UU Ormas ini termasuk salah satu  Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2011 untuk segera dilakukan pembahasan. Ketua Panja Sunardi Ayub mengatakan, RUU yang akan dibahas ini merupakan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, namun dari dokumen yang saya baca, draft UU Ormas versi terakhir ini bukanlah sebuah perubahan atas undang-undang sebelumnya, tetapi undang-undang baru untuk mengganti undang-undang No 8 tahun 1985.


Terlepas dari itu, inisiatif ini mengingatkan saya pada diskursus di kalangan LSM yang mencoba memahami dan mengkritisi rancangan undang-undang ini sekitar tahun 2005/2006 kemarin. Penggagas undang-undang ini cenderung menyamakan semua organisasi masyarakat dibawah satu undang-undang ormas dan sepertinya pemerintah ingin memperkuat fungsi kontrolnya. Pembelajaran menghadapi ormas yang dinilai anarkis berdampak pada unifikasi pengaturan yang ketat terhadap organisasi yang menurut saya bukan tergolong ormas. Ada upaya penyamaan antara Ormas, OKP, LSM dan Organisasi Profesi dalam sebuah payung hukum Ormas, hal ini membuat resisten kalangan LSM. Bagaimana mungkin organisasi berlain jenis itu disamakan walaupun sama-sama bersifat nirlaba. Cara membedakannya menurut saya sederhana saja: semua LSM bisa digolongkan sebagai Ormas, tapi tidak semua Ormas adalah LSM.

Tapi secara umum, draft versi terakhir ini memang lebih longgar dibanding versi sebelumnya. Mungkin telah banyak masukan dari berbagai pihak. Didalamnya telah ada pengaturan dalam banyak hal yang dipulangkan pada ketentuan AD/ART masing-masing. Ini artinya penggagas RUU ini tidak memaksakan pengaturan pada kemauan pemerintah saja. Selain itu semua, menurut saya ini bisa menjadi diskusi yang panjang dan saya ingin kembali mengulasnya dalam tulisan berikutnya. Sementara saya mengkaji kembali sebelum dituliskan disini, ada baiknya saya bagikan Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan versi terbaru. Silakan download.

Lembaga Swadaya Masyarakat


Lembaga Swadaya Masyarakat

Lembaga swadaya masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya.
Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari Bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintah (disingkat ornop atau ONP (Bahasa Inggrisnon-governmental organizationNGO).
Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari pemerintahbirokrasi ataupun negara. Maka secara garis besar organisasi non pemerintah dapat di lihat dengan ciri sbb :
  • Organisasi ini bukan bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara
  • Dalam melakukan kegiatan tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan (nirlaba)
  • Kegiatan dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum, tidak hanya untuk kepentingan para anggota seperti yang di lakukan koperasi ataupun organisasi profesi
Berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, maka secara umum organisasi non pemerintah di indonesia berbentuk yayasan.

Jenis dan kategori LSM

Secara garis besar dari sekian banyak organisasi non pemerintah yang ada dapat di kategorikan sbb :
  • Organisasi donor, adalah organisasi non pemerintah yang memberikan dukungan biaya bagi kegiatan ornop lain.
  • Organisasi mitra pemerintah, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan bermitra dengan pemerintah dalam menjalankan kegiatanya.
  • Organisasi profesional, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan profesional tertentu seperti ornop pendidikan, ornop bantuan hukum, ornop jurnalisme, ornop kesehatan, ornop pengembangan ekonomi dll.
  • Organisasi oposisi, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan memilih untuk menjadi penyeimbang dari kebijakan pemerintah. Ornop ini bertindak melakukan kritik dan pengawasan terhadap keberlangsungan kegiatan pemerintah
Sebuah laporan PBB tahun 1995 mengenai pemerintahan global memperkirakan ada sekitar 29.000 ONP internasional. Jumlah di tingkat nasional jauh lebih tinggi: Amerika Serikat memiliki kira-kira 2 juta ONP, kebanyakan dibentuk dalam 30 tahun terakhir. Russia memiliki 65.000 ONP. Lusinan dibentuk per harinya. Di Kenya, sekitar 240 NGO dibentuk setiap tahunnya.

Rabu, 09 November 2011

VISI DAN MISI

VISI
* SEHAT, BERSATU DAN DAN BERGUNA UNTUK      GENERASI SELANJUTNYA
TERWUJUDYA LSM YANG MAJU , MANDIRI, AGAMIS, DAN PROFESIONAL.

MISI    
* MENGEMBANGKAN PERLINDUNGAN KONSUMEN AGAR TERCIPTANYA DAYA SAING PASAR YANG SEHAT
* MENJALIN KEMITRAAN USAHA DENGAN PERORANGAN ATAUPUN AGRIBISNIS LAIN YANG MENGUNTUNGKAN.
* MENUMBUHKEMBANGKAN AGAR PRODUKTIF BERDAYA SAING DAN YANG MEMPUNYAI PANGSA PASAR.
*  MEMPERSATUKAN PEMUDA DAN MENJUNJUNG TINGGI SPORTIFITAS
 * MEMPERERAT HUBUNGAN SILATURRAHMI

KODE ETIK LSM-CEBERLIN KOMUNITY


kami dengan kesadaran menyatakan :
1. Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.  Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhannya.
3. Mengabdi kepada Bangsa dan Tanah Air.
4.  Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar serta menghargai manusia dan kerabatnya.
5.  Berusaha mempererat tali persaudaraan antara pecinta alam sesuai dengan azas pecinta alam
6.  Berusaha saling membantu serta menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah air.
7. Selesai.         

PROGRAM KERJA LSM-CEBERLIN KOMUNITY


1.   dapat berperan dalam bidang  perlindungan Konsumen.
2.   Berperan Aktif dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia.
3.   Organisasi yang bergerak untuk mewujudkan Pemuda dan Pemudi yang Kreatif di Bidang Olahraga, Seni, Sosial dan  Budaya.
4.   Menjadi mitra pemerintah, swasta, perorangan dan kelompok terutama dalam bidang perkebunan, pertanian dan lingkungan hidup.
5.   BerupayaMemberikan bantuan alat-alat dalam bidang perkebunan, pertanian dan lingkungan hidup.
6.   Berupaya Memberikan lapangan pekerjaan bagi Anggotanya.
7.   Berupaya untuk memancing  kreatifitas untuk menjadi wadah penyalurannya.

AD dan ART CK

ANGGARAN  DASAR
CEBERLIN KOMUNITY
TAHUN 2010/2011

BAB I
Nama, Tempat dan Waktu

Pasal I
Nama, Tempat, dan Waktu
1.  Nama organisasi ini adalah CEBERLIN KOMUNITY atau yang disingkat CK
2.  CK berkedudukan di Kabupaten Kuantan Singingi
3   CK didirikan pada tanggal 08 Desember 2010 

BAB II
Dasar dan Asas

Pasal 2
Dasar
CK  berdasarkan Pancasila dan UUD 1945  
Pasal 3
Asas
CK berdasarkan musyawarah, kekeluargaan,kemandirian dan solidaritas yang kuat.  

BAB III
Status, Sifat dan Fungsi

Pasal 4
Status dan Sifat
CK adalah organisasi Kepemudaan yang berdiri atas inisiatif pemuda yang bersifat mandiri dan non politis serta tidak mengusung bendera salah satu partai politik di indonesia.
Pasal 5
Fungsi
1.    Sebagai wadah yang bergerak dalam perlindungan Konsumen.
2.    Sebagai wadah Kreatifitas  untuk menyalurkan minat dan bakatnya dalam Bidang Olahraga , Seni, Sosial dan Budaya yang bersifat positif.
3.    Sebagai wadah yang bergerak dalam bidang perkebunan, pertanian dan Linkungan Hidup
4.    Sebagai wadah untuk mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan anggota Organisasi

BAB IV
Maksud, Tujuan dan Usaha-Usaha

Pasal 6
Maksud dan Tujuan
1.    Membantu Pemerintah secara aktif dalam membangun Bangsa dan Negara Indonesia agar dicapai pembangunan Indonesia seutuhnya khususnya pembangunan RIAU.
2.      CK didirikan dengan maksud untuk meningkatkan mutu usaha perdagangan dalam rangka perlindungan Konsumen
3.    CK didirikan dengan maksud memberi wadah pembinaan kepada Pemuda dan Pemudi yang berminat terhadap kegiatan Apapun yang bersifat positif.
4.    CK  didirikan dengan tujuan meningkatkan kepedulian, kecintaan terhadap lingkungan dan kebersamaan atau persaudaraan antar anggota CK. 

Pasal 7
1.   CK dapat berperan dalam bidang  perlindungan Konsumen.
2.   CK Berperan Aktif dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia.
3.   CK Organisasi yang bergerak untuk mewujudkan Pemuda dan Pemudi yang Kreatif di Bidang Olahraga, Seni, Sosial dan  Budaya.
4.   CK dapat Menjadi mitra pemerintah, swasta, perorangan dan kelompok terutama dalam bidang perkebunan, pertanian dan lingkungan hidup.
5.   CK dapat Memberikan bantuan alat-alat dalam bidang perkebunan, pertanian dan lingkungan hidup.
6.   CK Organisasi yang berupaya memberikan lapangan pekerjaan bagi Anggotanya.
7.   CK Organisasi yang berupaya untuk memancing  kreatifitas untuk menjadi wadah penyalurannya.


BAB V
Keanggotaan

Pasal 8
KeanggotaanAnggota CK adalah Pemuda dan Pemudi  yang dapat menyalurkan kresifitas di masing-masing yang positif, yang telah memenuhi syarat – syarat yang dijelaskan dalam Anggaran Rumah Tangga. 

BAB VI
Pengurus

Pasal 9
PengurusPengurus CK sekurang – kurangnya terdiri dari seorang ketua umum, satu orang ketua harian, seorang wakil ketua, seorang sekretaris, dan seorang bendahara dan beberapa biro lainnya.

BAB VII
Organisasi

Pasal 10
CK mempunyai wilayah kerja di Kabupaten Kuantan Singingi, dan bisa saja menjalin Hubungan Kerja Sama dengan Pemerintah,  Organisasi, Perusahaan, dan Badan Hukum Lainnya yang berada di Indonesia.

BAB VIII
Musyawarah dan Rapat

Pasal 11
1.      Kekuasaan tertinggi bereada pada keputusan hasil musyawarah Anggota CK yang disetujui oleh ½ +1 Anggota CK yang  hadir dalam rapat.
2.      Kepengurusan di atur dalam rapat musyawarah Besar
3.      Musyawarah Besar memiliki  wewenang untuk membentuk dan membubarkan Kepengurusan
4.      Musyawarah Besar diadakan sekali dalam Setahun
5.      Musyawarah anggota diadakan minimal sekali dalam Setahun
Pasal 12
1.      Dalam keadaan Mendadak  dapat diadakan Rapat untuk Musayawarah Anggota
2.      Rapat CK dimulai apabila melebihi  ½ + 1 dari keseluruhan Anggota Organisasi
Pasal 13
Pengambilan keputusan dalam  musyawarah dan rapat-rapat yang tersebut oleh pasal  10 sampai 11 di atas dilakukan dengan musyawarah Anggota.





BAB IX
Perbendaharaan

Pasal 14
Perbendaharaan
Perbendaharaan / kekayaan CK adalah segala sesuatu baik barang bergerak maupun tidak  bergerak yang menjadi milik CK.
Pasal 15
Keuangan CK di peroleh dari:
a.       Uang iuran Anggota
b.      Sumbangan dalam bentuk apapun yang sah dan tidak mengikat
c.       Penerimaan-penerimaan lain yang sah.
d.      Usaha yang sah.
Pasal 16
Uang iuran anggota ditetapkan oleh keputusan rapat Anggota. 

BAB X
Lambang dan Bendera

Pasal 17
Lambang
Lambang CK adalah sebuah lingkaran yang bersandarkan pada arah mata angin yang di dalamnya terdapat gambar sebagai berikut:
1.             Dua buah Pohon Melingkar
2.             Dua buah Nangka
3.             Dua buah Bulan Sabit
4.             Tulisan Ceberlin Komunity
Pasal 18
Bendera
Bendera CK  berbentuk persegi pajang berukuran panjang 4 satuan dan lebar 3 satuan berwarna Putih, dengan gambar lambang CK tepat ditengah – tengahnya.  

BAB XI
Perubahan Anggaran Dasar dan Pembubaran

Pasal 19
Perubahan Anggaran Dasar
1.  Perubahan anggaran dasar hanya dilakukan dalam sidang tahunan CK
2.  Keputusan perubahan disetujui sekurang – kurangnya ½ + 1  dari keseluruhan anggota  pengurus  CK
Pasal 20
Pembubaran
1.  Pembubaran CK hanya dilakukan dalam pertemuan anggota CK.
2.  Pertemuan CK  harus dihadiri ½ +1 Anggota dari keseluruhan anggota CK  yang masih aktif  dalam Organisasi CK.
3.  Keputusan pembubaran harus disetujui sekurang – kurangnya ½ + 1 Anggota dari keseluruhan peserta pertemuan.

BAB XII
Anggaran Rumah Tangga
Pasal 21
Anggaran Rumah Tangga
1.  Anggaran rumah tangga  ini dijabarkan  lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga  CK
2.  Anggaran rumah Tangga CK ditetapkan dalam musyawarah Besar dan tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar CK. 

BAB XIII
Peraturan Peralihan
Pasal 22
Hal – hal yang belum diatur dalam anggaran dasar ini diatur dalnm anggaran rumah tangga dan atau peraturan lainnya.         
  








ANGGARAN RUMAH TANGGA
CEBERLIN KOMUNITY
 2010

BAB I
Keanggotaan
Pasal 1
Sifat Keanggotaan
1.  Keanggotaan CK bersifat sukarela dan bertanggungjawab
2.  Masa keanggotaan CK  adalah Selama Anggota aktif dalam Organisasi CK. 
Pasal 2
Status Keanggotaan
Keanggotaan CK  terdiri dari:
a.    Pengurus
Yaitu anggota CK yang terpilih dan dipercayakan untuk mengurus organisasi.
b.    Anggota
            Anggota terdiri dari :
1.      Anggota Muda Yaitu anggota CK yang telah dinyatakan berhasil/lulus dalam tes awal  Perekrutan serta telah dilantik/dikukuhkan menjadi anggota muda CK. 
2.         Anggota Biasa Yaitu Pengurus dan Anggota Organisasi CK.
3.         Anggota Kehormatan Yaitu Anggota yang diangkat berdasar pertimbangan jasa dan Kontribusinya terhadap Organisasi. 
Pasal 3
Pelantikan Anggota
1.    Pelantikan sebagai anggota CK ditandai dengan terbentuknya kepengurusan Organisasi CK.
2.    Pelantikan sebagai anggota CK dilakukan oleh Kepala Desa  atau yang   mewakili. 
Pasal 4
Hak Anggota
1.    Anggota CK berhak untuk mamakai peralatan dan fasilitas yang dimiliki CK dengan persetujuan pengurus dan harus bertanggung jawab.
2.    Anggota muda dan senior mempunyai hak suara, memilih dan dipilih sebagai pengurus dalam rapat anggota.
3.    Anggota CK berhak mengikuti kegiatan yang diadakan sesuai dengan peraturan. Mengeluarkan pendapat, usul serta saran baik secara lisan maupun tertulis. 
Pasal 5
Kewajiban Anggota
1.    Menjunjung tinggi nama baik organisasi
2.    Menjaga eksistensi CK dengan segala daya dan upaya yang dipunyai
3.    Setiap anggota CKwajib membantu pengurus dalam menjalankan program kerja organisasi.
4.    Membayar iuran yang telah ditetapkan oleh pengurus sebesar Rp.2000; / minggu.
5.    Anggota CK wajib menerima dan melaksanakan keputusan yang telah diambil dalam musyawarah dan rapat dengan penuh tanggungjawab.
6.    Menghadiri musyawarah dan rapat yang diselenggarakan oleh pengurus  
Pasal 6
Berakhirnya Keanggotaan
Keanggotaan CK berakhir apabila :
1.    Meninggal dunia
2.    Mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri.
3.    Karena sesuatu hal yang dapat mencemarkan nama baik CK maka keanggotaannya dicabut oleh Ketua dan Sekretaris dan apabila yang melanggar pengurus maka dapat diberhentikan dengan cara Rapat anggota.
4.    Melanggar ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
5.    Membawa aspirasi lain yang tidak sesuai dengan AD/ART CK. 
Pasal 7
Pembelaan Anggota
1.    Anggota yang diberhentikan oleh Ketua dan Sekretaris berhak untuk mengadakan pembelaan di depan Musyawarah Anggota 
2.    Apabila pembelaan seperti yang dimaksud pada ayat satu bisa diterima oleh Musyawarah Anggota, maka anggota tersebut dapat diterima kembali menjadi anggota CK sesuai dengan jenis keanggotaannya.   

BAB II
Struktur Organisasi
Pasal 8
Musyawarah Besar CK
1.    Musyawarah Besar CK  memegang kekuasaan tertinggi organisasi CK.
2     Musyawarah Besar diselenggarakan sekali dalam setahun.
2.    Musyawarah Anggota minimal diselenggarakan sekali dalam setahun atau lebih jika diperlukan.
3.    Musyawarah Besar bertempat di Kabupaten Kuansing  sebagai pusat organisasi. 
Pasal 9
Wewenang Musyawarah Anggota CK
1.    Menetapkan Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga Garis – Garis Besar Program kegiatan.
2.    Memilih KetuaCK  dengan jalan pemilihan secara langsung.
3.    Menilai dan mengesahkan  (menerima/menolak) pertanggungjawaban pengurus CK. 
Pasal 10
Pertemuan Rutin
1.    Pertemuan rutin adalah pertemuan anggota CK  yang diselenggarakan oleh pengurus CK.
2.    Pertemuan rutin diadakan menurut keputusan pengurus periode kepengurusan yang bersangkutan. 
Pasal 11
Pengurus CK
1.    Kepengurusan pusat CK dibentuk dan bertanggung jawab kepada musyawarah anggota CK.
2.    Kepengurusan CK terdiri dari :
1.      1 (satu) orang Ketua Umum
2.      1 (satu) orang Ketua
3.      1 (satu) orang Wakil Ketua
4.      1 (satu) orang sekretaris
5.      1 (satu) orang bendahara
6.      1 (satu) orang kepala Bidang  yang sesuai dengan kepengurusan nanti .
3.    Masa jabatan pengurus adalah 1 (satu) tahun  kepengurusan  dan sesudahnya  dapat dipilh kembali  untuk jabatan pengurus yang sama pada musyawarah besar. 
Pasal 12
Tugas dan Wewenang Pengurus
1.    Melaksanakan garis – garis besar program kegiatan sesuai dengan yang ditetapkan dalam Musyawarah Anggota.
2.    Mempertanggungjawabkan kepengurusan kepada anggota dalam Musyawarah AnggotaCK 

BAB III
GBPK
Pasal 13
GBPK (Garis Besar Program Kerja)
1.    GBPK merupakan pedoman kegiatan yang akan dilakukan oleh organisasi dalam setiap periode kepengurusan.
2.     GBPK dibentuk melalui Musyawarah  Pengurus CK
3.     Pelaksana GBPK adalah  seluruh anggota CK.
4.    Masa berlakunya GBPK sama dengan satu kali periode kepengurusan dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan Musyawarah Anggota CK.   

BAB IV
Kerjasama
Pasal 14
Kerjasama
1.    CK  berhak bekerja sama dengan pihak – pihak yang mendukung atau mempunyai tujuan yang sama atau sejalan dengan CK  dan atau memiliki kepentingan lain dengan ketentuan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku yang ada / atau / AD/ART organisasi.
2.    Syarat – syarat dan pelaksana kerja sama ditetapkan melalui perundingan.  

BAB V
Lambang, Bendera dan Bandana
Pasal 15
Lambang
1.    Lambang CK  adalah sebuah lingkaran yang bersandarkan pada arah mata angin yang di dalamnya terdapat gambar sebagai berikut:.
1.     Dua buah Pohon Melingkar
2.     Dua buah Nangka
3.     Dua buah Bulan Sabit
4.     Satu buah Bintang
5.     Tulisan Ceberlin Komunity
2.    Lambang CKseperti tersebut dalam ayat satu mempunyai arti :
1.  Dua Pohon Melingkar melambangkan salah satu ciri khas etnis domisili dan sinyal pemersatu.
2.  Dua Nangka melambangkan kerja sama
3.  Dua Bulan Sabit melambangkan kesatuan organisasi.
4.  Bintang berwarna kuning emas melambangkan dasar negara.
5.  Tulisan CK berwarna merah melambangkan ketegasan dan keberanian.
       
Pasal 16
Bendera
Bendera CK berbentuk persegi panjang berukuran panjang 4 satuan dan lebar 3 satuan berwarna Putih, dengan gambar lambang CK  tepat ditengah – tengahnya. 



Pasal 17
Bandana
Bandana CK  berbentuk segitiga sama kaki  berwarna orange dengan lambang CK berada ditengah.    

BAB VI
Perubahan ART
Pasal 18
Perubahan ART
1.    Perubahan ART hanya dilakukan dalam sidang CK.
2.    Keputusan perubahan ART harus dihadiri sekurang-kurangnya oleh ½ + 1 (  setengah ditambah satu) dari keseluruhan Anggota CK yang hadir.  

BAB VII
Aturan Tambahan
Pasal 19
Setiap anggota CK dianggap telah mengetahui isi AD/ART ini setelah ditetapkan. 
Pasal 20
Setiap anggota CK  harus mentaati AD/ART ini dan barang siapa melanggarnya akan dikenakan sanksi – sanksi organisasi yang diatur dalam ketentuan – ketentuan tersendiri.      

BAB VIII
Lain – lain
Pasal 21
AD/ART ini berlaku sejak ditetapkan.